LATAR BELAKANG
Proses pengawasan merupakan hal penting dalam
menjalankan kegiatan organisasi, oleh karena itu setiap pimpinan harus dapat
menjalankan fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen. Dengan
demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu
rencana.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah
dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan
Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam
tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk
memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran
daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD
merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi
kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN
yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan.
Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat
dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu
sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari
perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang
dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang
dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan
melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja,
jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis
belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang
telah ditetapkan.
Ketika penerapan otononomi daerah, dimana pemberian
kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
sedangkan pemerintahan yang bebas identik dengan penerapan otonomi daerah,
dimana pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi kesejahteraan
masyarakat.
Fungsi Pengawasan yang dilakukan DPRD di Indonesia
pada umumnya masih banyak mengalami kendala, diantaranya adalah tidak adanya
penetapan jadwal untuk agenda pengawasan, Lemahnya koordinasi antar anggota
komisi, dan kurangnya pengetahuan anggota DPRD sehingga pengawasan hanya
sekedar formalitas belaka atau hanya sekedar kunjungan kerja tanpa ada hasil
yang dicapai atau rekomendasi dari hasil pengawasan tersebut
Konsep Pengawasan
Istilah
pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanya adalah “awas”, sedangkan dalam
bahasa Inggris disebut controllingyang diterjemahkan dengan istilah
pengawasan dan pengendalian, sehingga istilahcontrolling lebih luas
artinya dari pada pengawasan. Akan tetapi dikalangan ahli atau sarjana telah
disamakan pengertian “controlling” ini dengan pengawasan.
Jadi
pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata
“kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki,
kegiatan, yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar.
Akan
tetapi ada juga yang tidak setuju akan disamakannya istilah controllingini
dengan pengawasan, karena controlling pengertiannya lebih luas
daripada pengawasan dimana dikatakan bahwa pengawasan adalah hanya kegiatan
mengawasi saja atau hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan saja
hasil kegiatan mengawasi tadi, sedangkan controlling adalah
disamping melakukan pengawasan juga melakukan kegiatan pengendalian
menggerakkan, memperbaiki dan meluruskan menuju arah yang benar.
Maksud dan Tujuan Pengawasan
Dalam
rangka pelaksanaan pekarjaan dan untuk mencapai tujuan dari pemerintah yang
telah direncanakan maka perlu ada pengawasan, karena dengan pengawasan
tersebut, maka tujuan yang akan dicapai dapat dilihat dengan berpedoman rencana
yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah.
Dengan
demikian pengawasan itu sangat penting dalam melaksanakan pekerjaan dan tugas
pemerintahan, sehingga pengawasan diadakan dengan maksud untuk:
1. Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak
2. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai
dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang
sama atau timbulnya kesalahan yang baru
3. Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program
seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak
Berkaitan
dengan tujuan pengawasan, Situmorang dan Juhir mengemukakan agar terciptanya
aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen
pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi
masyarakat yang konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan
masyarakat (control social) yang obyektif, sehat dan bertanggung
jawab.
Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, dapat diketahui bahwa pada pokoknya tujuan
pengawasan adalah membandingkan antara pelaksanaan dan rencana serta instruksi
yang telah dibuat, untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan, kelemahan atau
kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja dan untuk mencari jalan keluar
apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan atau dengan kata lain disebut
tindakan korektif.
Macam - macam Pengawasan
Dalam
hal pengawasan dapat diklasifikasikan macam-macam pengawasan berdasarkan
berbagai hal, yaitu:
a. Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung
Pengawasan langsung
adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas
dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot”
di tempat pekerjaan dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari
pelaksana. Sedangkan pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari
laporan-laporan yang diterima dari pelaksana, baik lisan maupun tertulis,
mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan tanpa pengawasan.
b. Pengawasan Preventif dan Represif
Walaupun prinsip
pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan
pekerjaan, dapat dibedakan antara Pengawasan Preventif dan Pengawasan Represif.
Pengawasan Preventif berkaitan dengan pengesahan Peraturan Daerah atau
Keputusan Kepala Daerah tertentu. Karena tidak semua Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah memerlukan pengesahan. Selama pengesahan belum
diperoleh, Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang bersangkutan
belum berlaku dan pengawasan ini dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan
dimulai. Misal dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan,
rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain.
Sedang Pengawasan Represif dapat berbentuk penangguhan berlaku atau pembatalan.
Suatu Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang sudah berlaku dan
mempunyai kekuatan mengikat dapat ditangguhkan atau dibatalkan karena
bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya dan pengawasan ini dilakukan melalui post audit
dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat, meminta laporan pelaksanaan
dan sebagainya.
c. Pengawasan Intern dan Pengawasan Ekstern
Pengawasan Intern,
adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pada
dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Akan tetapi di
dalam praktek hal ini tidak selalu mungkin. Oleh karena itu setiap pimpinan
dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu pucuk pimpinan untuk
mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya
masing-masing. Sedangkan Pengawasan Ekstern adalah pengawasan yang dilakukan
oleh aparat dari luar organisasi sendiri. Seperti pengawasan dibidang keuangan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang meliputi seluruh Aparatur Negara dan
Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara terhadap Departemen dan Instansi
pemarintah lain.
Macam-macam
pengawasan ini didasarkan pada pengklasifikasian pengawasan. Disamping itu pula
ada beberapa macam pengawasan dilihat dari bidang pengawasannya, yakni:
a. Pengawasan anggaran pendapatan (budgetary control)
b. Pengawasan biaya (cost control)
c. Pengawasan barang inventaris (inventory control)
d. Pengawasan produksi (production control)
e. Pengawasan jumlah hasil kerja ( quality control)
Proses Pengawasan
Proses
pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan kegiatan organisasi, oleh
karena itu setiap pimpinan harus dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagai
salah satu fungsi manajemen.
Fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi terhadap setiap
pegawai yang berada dalam organisasi adalah wujud dari pelaksanaan fungsi
administrasi dari pimpinan organisasi terhadap para bawahan, serta mewujudkan
peningkatan efektifitas, efisiensi, rasionalitas, dan ketertiban dalam
pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas organisasi.
Pengawasan
yang dilakukan oleh pimpinan organisasi akan memberikan implikasi terhadap
pelaksanaan rencana akan baik jika pengawasan dilakukan secara baik, dan tujuan
baru dapat diketahui tercapai dengan baik atau tidak setelah proses pengawasan
dilakukan. Dengan demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya
pelaksanaan suatu rencana.
Tinjauan
Umum APBD
APBD
adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan
peraturan pemerintah tentang APBD.
Anggaran
daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan
publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang
luas, nyata dan bertanggung jawab.Atas dasar acuan tersebut, penyusunan APBD
hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran sebagai berikut:
a. Transparansi dan akuntabilitas
APBD harus dapat
memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang
diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Selain itu penggunaannya
juga harus dapat dipertanggungjawabkan.
b. Disiplin anggaran
Anggaran yang disusun
harus dilakukan berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
c. Keadilan anggaran
Pemerintah wajib
mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh
kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
d. Efisiensi dan efektivitas anggaran
Dana yang tersedia
harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat.
e. Format anggaran
Pada dasarnya APBD
disusun berdasarkan format anggaran deficit (deficit budget format).
Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedang bila
terjadi defisit, dapat ditutup melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau
penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Mekanisme
penyusunan APBD dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penetapan, perubahan dan
perhitungan APBD.
a. Penetapan APBD
Penetapan
APBD adalah penetapan rencana APBD yang telah disusun oleh pemerintah daerah
dan diajukan kepada DPRD untuk ditetapkan sebagai Perda. APBD ditetapkan paling
lambat tiga bulan setelah ditetapkannya APBN. APBD tersebut perlu mendapat
pengesahan dari pejabat yang berwenang yaitu dari Mendagri.
b. Perubahan APBD
Berdasarkan
PP No. 5 Tahun 1975 Pasal 14 jo. Pasal 183 UU No. 32 Tahun 2004, daerah dapat
melakukan perubahan rencana APBD yang disebabkan antara lain: perbedaan antara
perencanaan dan realisasi/pelaksanaan akibat perubahan harga, pengurangan dan
penambahan volume pekerjaan, dan berbagai sebab lainnya yang menyebabkan
pergeseran anggaran.
c. Perhitungan APBD
Berdasarkan
Permendagri No. 2 Tahun 1994, perhitungan APBD ditetapkan paling lambat enam
bulan setelah ditetapkannya APBN untuk tahun anggaran berikutnya. Perhitungan
ini merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD pada setiap tahun
anggaran. Perhitungan APBD harus menghitung selisih antara realisasi penerimaan
dan realisasi pengeluaran dengan anggaran pengeluaran dengan menjelaskan alasannya.
Perhitungan APBD juga ditetapkan melalui Perda.
Pendapatan Daerah
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 157, bahwa sumber pendapatan daerah
terdiri atas:
a. Hasil pajak daerah (PAD) yang meliputi:
Ø Hasil pajak daerah
Ø Hasil retribusi daerah
Ø Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan
Ø Lain-lain PAD yang sah.
b. Dana perimbangan yang terdiri dari:
Ø Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHATB) dan
Penerimaan dari sumber daya alam (SDA)
Ø Dana Alokasi Umum (DAU)
Ø Dana Alokasi Khusus (DAS)
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan
secara terperinci berdasarkan pada jenis pendapatan, terdiri atas:
1. Sisa lebih perhitungan tahun lalu.
Berbagai
hal penyebab terdapatnya sisa anggaran antara lain:
Ø Adanya penerimaan yang tidak
diperkirakan pada saat penyusunan APBD
Ø Adanya sisa pada pagu anggaran yang
disediakan dalam APBD dengan harga hasil tender oleh pihak ketiga.
Ø Adanya sisa anggaran meski target
pelaksanaan fisik suatu proyek telah mencapai 100%.
Ø Adanya anggaran tahun lalu yang belum
terserap karena pelaksanaan kegiatan fisiknya belum selesai.
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD
seringkali dianggap sebagai tumpuan utama sumber keuangan daerah. Jenis-jenis
PAD antara lain:
Ø Pajak daerah, yaitu iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan yang
seimbang, yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku, yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Ø Retribusi daerah, yaitu pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau
badan.
Ø Laba perusahaan.
Ø Penerimaan dinas dan penerimaan
lain-lain.
3. Bagi hasil pajak dan bukan pajak
Bagi hasil
pajak dan bukan pajak adalah bagian pajak dan bukan pajak pusat yang
dibagihasilkan kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
4. Sumbangan dan bantuan
Sumbangan
adalah dana yang diberikan pemerintah kepada pemerintah daerah yang digunakan
untuk membiayai belanja pegawai daerah dan pegawai pusat yang diperbantukan di
daerah, serta keperluan belanja nonpegawai.
Bantuan
adalah dana yang diberikan pemerintah kepada daerah yang digunakan untuk
pembangunan daerah yang bersangkutan.
5. Pinjaman
Pinjaman
daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak
lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut
dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pinjaman
daerah dapat bersumber dari:
Ø Dalam Negeri
Ø Luar Negeri
Pinjaman
Daerah terdiri dari dua jenis:
1) Pinjaman Jangka Panjang
Pinjaman
daerah dengan jangka waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa
pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga dan biaya lain
sebagian atau seluruhnya harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
2) Pinjaman Jangka Pendek
Pinjaman
daerah dengan jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun dengan
persyaratan bahwa pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga dan
biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran bersangkutan.
PENGAWASAN PELAKSANAAN APBD
APBD adalah rencana keuangan Pemda, yang mencakup tiga komponen, yakni
pendapatan, belanja dan pembiayaan. Selisih pendapatan dengan belanja disebut
surplus atau defisit, yang memiliki makna bahwa Pemda boleh merencanakan pengeluaran
untuk belanja yang tidak sama persis dengan jumlah pendapatannya.
Di sisi lain, rencana keuangan yang telah ditetapkan sebelum tahun anggaran
berjalan, kemungkinan besar tidak dilaksanakan sepenuhnya. Artinya, hampir
selalu ada variansi (variance) antara anggaran dengan realisasinya. Dalam
anggaran berbasis kinerja, APBD harus direncanakan dengan menetapkan terlebih
dahulu target kinerja yang ingin dicapai (Money follows functions). Jika tidak
ada target, maka tidak ada aktivitas. Jika tidak ada aktivitas, maka tidak ada
alokasi dana dalam APBD.
Pemeriksaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD mengalami perkembangan
dan perubahan yang cukup signifikan setelah berlakunya paket tiga Undang-undang
Keuangan Negara. Perubahan tersebut antara lain meliputi jenis pemeriksaan,
standar pemeriksaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, serta
pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan. Perubahan tersebut tentunya harus
disikapi dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yang semakin baik dan ‘semakin’
sesuai standar.
Tercatat sudah banyak perangkat lunak diciptakan mulai kode etik, petunjuk
pelaksanaan sampai petunjuk teknis dan SOP. Akan tetapi, apakah kualitas hasil
pemeriksaan dapat terjamin dengan banyaknya perangkat lunak pemeriksaan? Banyak
laporan yang menyatakan bahwa auditor sering mengandalkan intuisinya sebagai
pemeriksa dibandingkan harus mengandalkan atau mematuhi perangkat lunak
pemeriksaan. Auditor cenderung terlalu percaya diri dan kadang lupa dengan
pakem yang harus dipegang dalam memainkan perannya sebagai auditor.
Akibatnya, ini mendorong munculnya auditor yang doyan bermusik jazz. Yaitu
mengaudit dengan improvisasi sekenanya mengikuti intuisi yang dipercaya.
Padahal, ada kekhawatiran bahwa dengan improvisasi ini, bisa menyulitkan
penjaminan keandalan prosedur audit yang dijalankan.
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi.
Hasil penelitian tentang kompetensi menunjukkan bahwa profesi auditor mulai
tidak menarik dan tergeser oleh profesi yang lain. Hal ini berdampak terhadap
kualitas calon auditor yang memasuki dunia Pegawai negeri Sipil (PNS), yang
pada akhirnya akan membuat mereka akan eksodus ke unit kerja lain. Hasil
penelitian juga menunjukkan kualitas pendidikan secara formal untuk auditor dirasa
masih kurang memadai untuk menunjang kompetensinya. Penelitian juga memberikan
bukti empiris bahwa pengalaman akan mempengaruhi kemampuan auditor untuk
mengetahui kekeliruan dan pelatihan yang dilakukan akan meningkatkan keahlian
dalam melakukan audit.
Untuk itu maka masukan dari pihak lain atau pembina dan organisasi
sangat diperlukan untuk mengembangkan suatu kualitas audit. Hasil penelitian
tentang independensi menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan auditor
dipengaruhi oleh dorongan untuk mempertahankan citranya auditnya. Tetapi disisi
lain terdapat beberapa kekuatan yang bisa meredakan pengaruh tersebut. Hasil
penelitian juga memberikan bukti bahwa pengaruh Budaya masyarakat atau
organisasi terhadap pribadi auditor akan mempengaruhi sikap independensinya
(Soegijanto dan Hoesada, 2005).
PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian internal Pasal 47
menyebutkan bahwa pimpinan instansi/lembaga pemerintah bertanggung jawab atas
efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian internal di lingkungan
masing-masing. Atas dasar itu di masing-masing lembaga mempunyai satuan kerja
yang bertugas untuk mengawasi dan menjamin pelaksanaan operasional instansi
agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di tingkat pusat lembaga tersebut
lazim disebut Inspektorat dan ditingkat daerah disebut Badan Pengawas (Bawas)
yang sekarang Inspektorat juga.
Fungsi pengawas internal adalah membantu pimpinan instansi/lembaga dalam
penyelenggaraan pemerintahan dibidang :
1. Pengawasan pelaksanaan kegiatan yang
dilaksanakan baik yang sudah selesai maupun on going;
2. Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan
tugas, fungsi evaluasi tersebut termasuk dalam pengujian secara berkala laporan
yang dihasilkan oleh masing-masing perangkat daerah;
3. Pembinaan dan perbaikan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan reguler yang dilaksanakan;
4. Membantu tercapainya good corporate
governance.
Menurut penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan
perubahannya tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Kepala Daerah
(Bupati/Walikota) selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan juga
bertindak sebagai pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah.
Selanjutnya kekuasaan tersebut dilimpahkan kepada Kepala Satuan Kerja
Pengelolaan Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola keuangan daerah dan
dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah itu sendiri sebagai pengguna
anggaran/barang daerah di bawah koordinasi dari Sekretaris Daerah.
Pemisahan pelaksanaan APBD ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian
wewenang dan tanggungjawab terlaksananya mekanisme keseimbangan dan pengawasan
dalam pelaksanaan anggaran daerah (check and balances) serta untuk mendorong
upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Dalam
kaitannya dengan hal tersebut, maka dana yang tersedia dalam APBD harus
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi kepentingan masyarakat.
Beberapa Masalah dalam Proses Pengawasan.
Beberapa permasalahan yang ditemui ketika aparat inspektorat telah
melakukan pemeriksaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD, antara lain:
Pertama,
Struktur
belanja pada APBD yang lebih banyak mengakomodir belanja pegawai, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi kesalahan penganggaran. Kalau setiap
tahun belanja publik selalu kurang daripada belanja pegawai, pertanyaannya,
pegawai yang semakin banyak itu kerja apa saja?
Kalau
jumlah pegawai lebih banyak dari apa yang mau dia kerjakan? Itu aneh. Sehingga
pengadaan CPNSD harus dikurangi. Jangan setiap tahun terima CPNSD baru, karena
akan sangat membebani anggaran. Setiap periode jabatan KDH sebenarnya cukup dua
kali saja pengangkatan CPNSD supaya ada penghematan sehingga biaya belanja
aparatur dipakai untuk belanja publik. Jumlah rakyat miskin masih sangat
banyak, dana yang ada sebaiknya dipakai untuk kembangkan sektor riil dan jangan
hanya dihabiskan untuk belanja pegawai saja.
Kedua,
Penafsiran
yang berbeda antar SKPD terhadap peraturan pemerintah pusat yang selalu
berubah-ubah, sehingga menimbulkan berbagai macam interpretasi atas aturan yang
ada. Mau ikut aturan A takut kebentur aturan B. Kuatirnya auditor akan memakai
aturan B dan akhirnya menyalahkan SKPD. Kuatirnya ada pihak lain yang kemudian
berpendapat bahwa harusnya atas kejadian tersebut adalah mengacu pada aturan C
(sehingga membingungkan).
Salah satu contoh kongkritnya adalah pada saat akan menerapkan keppres 80/2003
dan perubahannya dengan Permendagri 13/2006 dan perubahannya. Pegawai yang
berkutat di masalah keuangan daerah mengharuskan dipakai Permendagri, sedangkan
yang biasa menangani pengadaan akan bersikukuh bahwa hanya Keppres-lah
satu–satunya acuan utama mulai persiapan pengadaan, proses pemilihan penyedia,
proses pelaksanaan dan prosedur pembayaran beserta dokumen–dokumennya.
Ketiga,
penyalahgunaan
aset, yang terjadi karena ketidaktertiban mulai dari proses pencatatan, pembiayaan,
dan pelaporan sehingga tidak dapat diketahui track record aset tersebut.
Kelemahan yang sering terjadi adalah aset tidak dicatat di buku inventaris atau
tercatat di buku inventaris tetapi tidak pernah di-update mengenai keberadaan,
kondisi, dan lokasi aset tersebut.
Selain
itu, secara akuntansi belum dilakukan pencatatan aset sesuai Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP), di antaranya saat pembelian tidak dibukukan dalam buku
besar dan buku pembantu serta tidak dilakukan penyusutan. Kadangkala aset yang
tercatat tidak diketahui sumber dananya, baik yang didanai dari APBN/APBD,
hibah, sumbangan, maupun sitaan, dan sebagainya. Tidak tercatatnya aset, baik
dalam buku inventaris maupun secara akuntansi serta tidak jelas dalam segi
pembiayaannya, mengakibatkan pelaporan aset dalam neraca tidak akurat.
Hal ini
kadang menjadi permasalahan di SKPD, untuk perhitungan harga perolehan biasanya
dihitung di bagian keuangan atau akuntansi. Tentunya setelah dihitung harga
perolehan, maka pengurus barang segera mengganti harga aset tersebut dari harga
yang sesuai kontrak ke harga perolehan. Beberapa SKPD kadang tidak ada
komunikasi antara Bagian Keuangan/Akuntansi dengan Pengurus Barang. Tentu saja
ketika auditor masuk akan membandingkan data neraca dengan rincian barang.
Keempat,
Setiap
pemeliharaan terkait dengan anggaran untuk pemeliharaan. Belanja pemeliharaan
ternyata salah satu objek belanja yang paling sering difiktifkan
pertanggungjawabannya. Jika dicermati dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA),
atau dalam Perhitungan APBD, biasanya anggaran belanja pemeliharaan terealisasi
100%. Habis tak bersisa. Yang menarik, berdasarkan penelitian di negara-negara
berkembang, terutama di Afrika dan Amerika Latin (IMF, 2007 dan World Bank,
2008; dikutip Peduli Bangsa, 2008) fenomena ghost expenditures merupakan hal
yang biasa. Artinya, alokasi untuk pemeliharaan selalu dianggarkan secara
incremental meskipun banyak aset yang sudah tidak berfungsi atau hilang. hal
ini terjadi karena tidak adanya transparansi dalam penghapusan dan pemindahtanganan
aset-aset.
Kelima,
Pemeriksaan
aset hasil pengadaan terpusat pada satu instansi.
Keenam,
Pengadaan
yang tidak dilaksanakan oleh bagian atau sub bagian yang berwenang melaksanakan
sesuai tupoksinya. Berdasarkan fenomena yang terjadi uang untuk
pelaksanaan kegiatan dikuasai pada PPTK. Seharusnya uang untuk pelaksanaan
kegiatan dipegang oleh bendahara pengeluaran meskipun yang bertanggungjawab
untuk pengendalian atas pelaksanaan pekerjaan ada di tangan PPTK. Hal ini
bermakna bahwa meskipun PPTK bertanggungjawab atas kesuksesan pelaksanaan
kegiatan, PPTK tidak memegang uang (karena ada pada wewenang di bendahara).
Ketujuh,
Ketidakjelasan
pertanggungjawaban dan pelaksana perjalanan dinas.
Kedelapan,
Pembelian
ATK di luar “batas kewajaran” oleh SKPD.
Kesembilan,
Tidak
melaksanakan proses akuntansi, tetapi menghasilkan laporan keuangan. Sudah
menjadi kelaziman saat ini bahwa SKPD dipandang tidak perlu menyelenggarakan
proses akuntansi (menjurnal, memposting, menyesuaikan, menutup, dan menyusun
laporan keuangan) secara manual, karena telah ada software atau program yang
membantu. Sekali dilakukan entry data, maka laporan keuangan langsung jadi.
Apakah akuntansi sama dengan software di komputer?.
Kesepuluh,
Kelemahan
sistem penetapan honor berdasarkan kegiatan, karena tidak ditetapkan pemberian
penghasilan tambahan berdasarkan beban kerja secara adil.
Kesebelas,
Jumlah
persediaan yang tidak realistis pada akhir tahun anggaran, dan
sebagainya.Hal-hal tersebut di atas merupakan aspek-aspek yang harus diawasi,
artinya pengawasan tidak hanya bernuansa dilaksanakan setelah pelaksanaan
kegiatan, tetapi juga dimulai ketika perencanaan kegiatan masih dilakukan.
Pengawasan terhadap pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD dibagi menjadi
dua bagian; pengawasan eksternal dan pengawasan internal yang dijalankan
diklasifikasikan dari segi kategori fungsional yang tergantung pada maksud yang
akan dijalankan. Jadi pengawasan tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. pengawasan kebijakan (perumusan
kebijakan makroekonomi dan strategi);
2. pengawasan proses (pengawasan personil,
procurement/pengadaan, konstruksi dan pembayaran) dan
3. pengawasan efisien (ukuran kinerja dan
evaluasi).
Apakah pengawasan, suatu kalimat yang agak “merepotkan” bagi teman-teman
Pemda?, bukan saja karena implikasi dari pengawasan itu sendiri, tetapi juga
dari banyaknya pengawasan. Tetapi sebenarnya dilingkup intern SKPD itu sendiri
telah terlaksana pengawasan, yang dilaksanakan oleh pegawainya.
Pengawasan yang dimaksud tersebut dengan nomenklatur pengawasan atau dengan
yang serupa pengawasan, yaitu : Waskat, evaluasi, monitoring, atupun
konsultasi. Perbedaan antara auditor dan pegawai lain di SKPD adalah, auditor
mempunyai wewenang tidak hanya melakukan pengawasan tetapi juga ke tingkat
pemeriksaan sesuai tugas pokoknya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
oleh pemerintah pusat dan daerah.
Kriteria pemeriksaan mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan
pekerjaan lain. Pemilihan kriteria pemeriksaan tidak hanya meng”copy” peraturan
atau norma serta kaidah yang telah ditetapkan dalam bentuk produk hukum,
melainkan lebih jauh lagi kriteria pemeriksaan dapat dikembangkan standar atau
praktik-praktik yang dianggap baik dan relevan bagi sebuah kondisi kinerja yang
ideal. Oleh karena itu, pengembangan kriteria menjadi proses penting dalam
suatu perencanaan pemeriksaan untuk menjamin penilaian auditor lebih objektif,
proposional dan relevan dengan tujuan pemeriksaan, sehingga dapat menghasilkan
suatu rekomendasi perbaikan yang konstruktif bagi kinerja audite.
Problemnya adalah kebosanan dari instansi/lembaga untuk diperiksa,
banyaknya kegiatan pemeriksaan sedikit banyak membuat aktivitas pelayanan dan
operasional menjadi terganggu. Banyak waktu yang tersita untuk menjawab dan
menjelaskan berbagai permasalahan yang terjadi. Fungsi pengawas menjadi
pemeriksa membuat pemahaman terhadap masalah yang terjadi menjadi kurang,
parsial sehingga tidak menyeluruh. Pengawasan dilakukan tujuannya bukan
evaluasi untuk perbaikan proses yang sedang berlangsung tapi lebih kepada evaluasi
untuk mencari kesalahan atas kegiatan.
Faktanya, justru bottle neck yang terjadi dalam melaksanakan pemeriksaan
adalah ketidakmampuan mengidentifikasikan kriteria pemeriksaan. Ketidakmampuan
lebih disebabkan hal-hal antara lain tidak tersedianya Key Performance
Indicator (KPI), belum ada kesepakatan dengan auditee, dan tidak tersedia data
standar berupa benchmarking. Ini semua terjadi karena kita sudah terbiasa
dengan pola pemeriksaan kepatuhan yang mengharuskan sumber kriteria adalah
berupa peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan memaksa pelaksana
untuk mematuhinya. Tanpa itu maka temuan pemeriksaan dan rekomendasinya tidak
ada kekuatan mengubah auditee untuk memperbaiki. Apalagi kondisi tersebut
dikaitkan dengan ada tidaknya indikasi TPK.