Sabtu, 31 Januari 2015

Komunikasi Organisasi

KOMUNIKASI ORGANISASI

A. Pengertian Komunikasi Organisasi.
Istilah organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harafiah berarti paduan dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Di antara para ahli ada yang menyebut paduan itu sistem, ada juga yang menamakannya sarana.
Everet M. Rogers dalam bukunya Communication in Organization, mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas. Robert Bonnington dalam buku Modern Business: A Systems Approach, mendefinisikan organisasi sebagai sarana dimana manajemen mengoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.
Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat, dan sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk selanjutnya menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat komunikasi dilancarkan.
Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual.
Conrad (dalam Tubbs dan Moss, 2005) mengidentifikasikan tiga komunikasi organisasi sebagai berikut: fungsi perintah; fungsi relasional; fungsi manajemen ambigu.
1. Fungsi perintah berkenaan dengan angota-anggota organisasi mempunyai hak dan kewajiban membicarakan, menerima, menafsirkan dan bertindak atas suatu perintah. Tujuan dari fungsi perintah adalah koordinasi diantara sejumlah anggota yang bergantung dalam organisasi tersebut.
2. Fungsi relasional berkenaan dengan komunikasi memperbolehkan anggota-anggota menciptakan dan mempertahankan bisnis produktif hubungan personal dengan anggota organisasi lain. Hubungan dalam pekerjaan mempengaruhi kenirja pekerjaan (job performance) dalam berbagai cara. Misal: kepuasan kerja; aliran komunikasi ke bawah maupun ke atas dalam hirarkhi organisasional, dan tingkat pelaksanaan perintah. Pentingnya dalam hubungan antarpersona yang baik lebih terasa dalam pekerjaan ketika anda merasa bahwa banyak hubungan yang perlu dlakukan tidak anda pilih, tetapi diharuskan oleh lingkungan organisasi, sehingga hubungan menjadi kurang stabil, lebih memacu konflik, kurang ditaati, dsb.
3. Fungsi manajemen ambigu berkenaan dengan pilihan dalam situasi organisasi sering dibuat dalam keadaan yang sangat ambigu. Misal: motivasi berganda muncul karena pilihan yang diambil akan mempengaruhi rekan kerja dan organisasi, demikian juga diri sendiri; tujuan organisasi tidak jelas dan konteks yang mengharuskan adanya pilihan tersebut adanya pilihan tersebut mungkin tidak jelas. Komunikasi adalah alat untuk mengatasi dan mengurangi ketidakjelasan (ambiguity) yang melekat dalam organisasi. Anggota berbicara satu dengan lainnya untuk membangun lingkungan dan memahami situasi baru, yang membutuhkan perolehan informasi bersama.
B. Pengaruh Komunikasi terhadap Perilaku Organisasi.
Sebagai komunikator, seorang pemimpin organisasi, manajer, atau administrator harus memilih salah satu berbagai metode dan teknik komunikasi yang disesuaikan dengan situasi pada waktu komunikasi dilancarkan. Sebagai komunikator, seorang manajer harus menyesuaikan penyampaian pesannya kepada peranannya yang sedang dilakukannya. Dalam hubungan ini, Henry Mintzberg seorang profesor manajemen pada McGill University di Montreal-Kanada, menyatakan wewenang formal seorang manajer menyebabkan timbulnya tiga peranan: peranan antarpersona; peranan informasi; dan peranan memutuskan.
  1. Peranan antarpersona seorang manajer meliputi tiga hal:
    1. Peranan tokoh. Kedudukan sebagai kepala suatu unit organisasi, membuat seorang manajer melakuan tugas yang bersifat keupacaraan. Karena ia merupakan seorang tokoh, maka selain memimpim berbagai upacara di kantornya, ia juga diundang oleh pihak luar untuk menghadiri berbagai upacara. Dalam peranan ini seorang manajer berkesempatan untuk memberikan penerangan, penjelasan, imbauan, ajakan, dll.
    2. Peranan pemimpin. Sebagai pemimpin, seorang manajer bertanggung jawab atas lancar-tidaknya pekerjaan yang dilakukan bawahannya. Beberapa kegiatan bersangkutan langsung dengan kepemimpinannya pada semua tahap manajemen: penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan penilaian. Ada juga kegiatan-kegiatan yang tidak langsung berkaitan dengan kepemimpinannya, antara lain memotivasi para karyawan agar giat bekerja. Untuk melaksanakan kepemimpinannya secara efektif, maka ia harus mampu melaksanakan komunikasi secara efektif. Dalam konteks kepemimpinan, seorang manajer berkomunikasi efektif bila ia mampu membuat para karyawan melakukan kegiatan tertentu dengan kesadaran, kegairahan, dan kegembiraan. Dengan suasana kerja seperti itu akan dapat diharapkan hasil yang memuaskan.
    3. Peranan penghubung. Dalam peranan sebaga penghubung, seorang manajer melakukan komunikasi dengan orang-orang di luar jalur komando vertikal, baik secara formal maupun secara tidak formal.
  1. Peranan informasi. Dalam organisasinya, seorang manajer berfungsi sebagai pusat informasi. Ia mengembangkan pusat informasi bagi kepentingan organisasinya. Peranan informasional meliputi peranan-peranan sebagai berikut:
    1. Peranan monitor. Dalam melakukan peranannya sebagai monitor, manajer memandang lingkungan sebagai sumber informasi. Ia mengajukan berbagai ertanyaan kepada rekan-rekannya atau kepada bawahannya, dan ia menerima informasi pula dari mereka tanpa diminta berkat kontak pribadinya yang selalu dibinanya.
    2. Peranan penyebar. Dalam peranannya sebagai penyebar ia menerima dan menghimpun informasi dari luar yang penting artinya dan bermanfaat bagi organisasi, untuk kemuian disebarkan kepada bawahannya
    3. Peranan juru bicara. Peranan ini memiliki kesamaan dengan peranan penghubung, yakni dalam hal mengkomunikasikan informasi kepada khalayak luar. Perbedaannya ialah dalam hal caranya: jika dalam peranannya sebagai penghubung ia menyampaikan informasi secara antarpribadi dan tidak selalu resmi, namun dalam perananya sebagai juru bicara tidak selamanya secara kontak pribadi, tetapi selalu resmi. Dalam peranannya sebagai juru bicara itu ia juga harus mengkomunikasikan informasi kepada orang-orang yang berpengaruh yang melakukan pengawasan terhadap organisasinya. Kepada khalayak di luar organisasinya ia memberikan informasi dalam rangka pengembangan organisasinya. Ia meyakinkan khalayak bahwa organisasi yang dipimpinnya telah melakukan tanggung jawab sosial sebagaimana mestinya. Ia meyakinkan pula para pejabat pemerintah bahwa organisasinya berjalan sesuai dengan peratruran sebagaimana harusnya.
  1. Peranan memutuskan. Seorang manajer memegang peranan yang sangat penting dalam sistem pengambilan keputusan dalam organisasinya. Ada empat peranan yang dicakup pada peranan ini:
    1. Peranan wiraswasta. Seorang manajer berusaha memajukan organisasinya dan mengadakan penyesuaian terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Ia senantiasa memandang ke depan untuk mendapatkan gagasan baru. Jika sebuah gagasan muncul, maka ia mengambil prakarsa untuk mengembangkan sebuah proyek yang iawasinya sendiri atau didelegasikannya kepad bawahannya.
    2. Peranan pengendali gangguan. Seorang manajer berusaha sebaik mungkin menanggapi setiap tekanan yang menimpa organisasi, seperti buruh mogok, para pelanggan menghilang, dsb.
    3. Peranan penentu sumber. Seorang manajer bertanggung jawab untuk memutuskan pekerjaan apa yang harus dilakukan, siapa yang akan melaksanakan, dan bagaimana pembagian pekerjaan dilangsungkan. Manajer juga mempunyai kewenangan mengenai pengambilan keputusan penting sebelum implementasi dijalankan. Dengan kewenangan itu, manajer dapat memastikan bahwa keputusan-keputusan yang berkaitan semuanya berjalan melalui pemikran tunggal.
    4. Peranan perunding. Manajer melakukan peranan perunding bukan saja mengenai hal-hal yang resmi dan langsung berhubungan dengan organisasi, melainkan juga tentang hal-hal yang tidak resmi dan tidak langsung berkaitan dengan kekaryaan. Bagi manajer, perundingan merupakan gaya hidup karena hanya ialah yang mempunyai wewenang untuk menanggapi sumber-sumber organisasional pada waktu yang tepat, dan hanya ialah yang merupakan pusat jaringan informasi yang sangat diperlukan bagi perundingan yang penting.
C. Dimensi-Dimensi Komunikasi dalam Kehidupan Organisasi
  1. Komunikasi internal.
Komunikasi internal organisasi adalah proses penyampaian pesan antara anggota-anggota organisasi yang terjadi untuk kepentingan organisasi, seperti komunikasi antara pimpinan dengan bawahan, antara sesama bawahan, dsb. Proses komunikasi internal ini bisa berujud komunikasi antarpribadi ataupun komunikasi kelompok. Juga komunikasi bisa merupakan proses komunikasi primer maupun sekunder (menggunakan media nirmassa). Komunikasi internal ini lazim dibedakan menjadi dua, yaitu:
    1. Komunikasi vertikal, yaitu komunikasi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Komunikasi dari pimpinan kepada bawahan dan dari bawahan kepada pimpinan. Dalam komunikasi vertikal, pimpinan memberikan instruksi-instruksi, petunjuk-petunjuk, informasi-informasi, dll kepada bawahannya. Sedangkan bawahan memberikan laporan-laporan, saran-saran, pengaduan-pengaduan, dsb. kepada pimpinan.
    2. Komunikasi horizontal atau lateral, yaitu komunikasi antara sesama seperti dari karyawan kepada karyawan, manajer kepada manajer. Pesan dalam komunikasi ini bisa mengalir di bagian yang sama di dalam organisasi atau mengalir antarbagian. Komunikasi lateral ini memperlancar pertukaran pengetahuan, pengalaman, metode, dan masalah. Hal ini membantu organisasi untuk menghindari beberapa masalah dan memecahkan yang lainnya, serta membangun semangat kerja dan kepuasan kerja.
  1. Komunikasi eksternal.
Komunikasi eksternal organisasi adalah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan khalayak di luar organisasi. Pada organisasi besar, komunikasi ini lebih banyak dilakukan oleh kepala hubungan masyarakat dari pada pimpinan sendiri. Yang dilakukan sendiri oleh pimpinan hanyalah terbatas pada hal-hal yang ianggap sangat penting saja. Komunikasi eksternal terdiri dari jalur secara timbal balik:
a. Komunikasi dari organisasi kepada khalayak. Komunikasi ini dilaksanakan umumnya bersifat informatif, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak merasa memiliki keterlibatan, setidaknya ada hubungan batin. Komunikasi ini dapat melalui berbagai bentuk, seperti: majalah organisasi; press release; artikel surat kabar atau majalah; pidato radio; film dokumenter; brosur; leaflet; poster; konferensi pers.
b. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi merupakan umpan balik sebagai efek dari kegiatan dan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi.
Daftar pustaka
Onong Effendy, 1994, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wiryanto, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Grameia Wiiasarana Indonesia.
Tubbs, Stewart L. – Moss, Sylvia, Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005, h. 170.

Senin, 26 Januari 2015

Pengawasan APBD


LATAR BELAKANG
Proses pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan kegiatan organisasi, oleh karena itu setiap pimpinan harus dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen. Dengan demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu rencana.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan.
Ketika penerapan otononomi daerah, dimana pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. sedangkan pemerintahan yang bebas identik dengan penerapan otonomi daerah, dimana pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Fungsi Pengawasan yang dilakukan DPRD di Indonesia pada umumnya masih banyak mengalami kendala, diantaranya adalah tidak adanya penetapan jadwal untuk agenda pengawasan, Lemahnya koordinasi antar anggota komisi, dan kurangnya pengetahuan anggota DPRD sehingga pengawasan hanya sekedar formalitas belaka atau hanya sekedar kunjungan kerja tanpa ada hasil yang dicapai atau rekomendasi dari hasil pengawasan tersebut

Konsep Pengawasan
Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanya adalah “awas”, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut controllingyang diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilahcontrolling lebih luas artinya dari pada pengawasan. Akan tetapi dikalangan ahli atau sarjana telah disamakan pengertian “controlling” ini dengan pengawasan.
Jadi pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata “kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki, kegiatan, yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar.
Akan tetapi ada juga yang tidak setuju akan disamakannya istilah controllingini dengan pengawasan, karena controlling pengertiannya lebih luas daripada pengawasan dimana dikatakan bahwa pengawasan adalah hanya kegiatan mengawasi saja atau hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan saja hasil kegiatan mengawasi tadi, sedangkan controlling adalah disamping melakukan pengawasan juga melakukan kegiatan pengendalian menggerakkan, memperbaiki dan meluruskan menuju arah yang benar.

Maksud dan Tujuan Pengawasan
Dalam rangka pelaksanaan pekarjaan dan untuk mencapai tujuan dari pemerintah yang telah direncanakan maka perlu ada pengawasan, karena dengan pengawasan tersebut, maka tujuan yang akan dicapai dapat dilihat dengan berpedoman rencana yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah.
Dengan demikian pengawasan itu sangat penting dalam melaksanakan pekerjaan dan tugas pemerintahan, sehingga pengawasan diadakan dengan maksud untuk:
1.   Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak
2.   Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru
3.   Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak
Berkaitan dengan tujuan pengawasan, Situmorang dan Juhir mengemukakan agar terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat  (control social) yang obyektif, sehat dan bertanggung jawab.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diketahui bahwa pada pokoknya tujuan pengawasan adalah membandingkan antara pelaksanaan dan rencana serta instruksi yang telah dibuat, untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan, kelemahan atau kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja dan untuk mencari jalan keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan atau dengan kata lain disebut tindakan korektif.

Macam - macam Pengawasan
Dalam hal pengawasan dapat diklasifikasikan macam-macam pengawasan berdasarkan berbagai hal, yaitu:
a.    Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Sedangkan pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana, baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan tanpa pengawasan.
b.   Pengawasan Preventif dan Represif
Walaupun prinsip pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan pekerjaan, dapat dibedakan antara Pengawasan Preventif dan Pengawasan Represif. Pengawasan Preventif berkaitan dengan pengesahan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah tertentu. Karena tidak semua Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah memerlukan pengesahan. Selama pengesahan belum diperoleh, Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang bersangkutan belum berlaku dan pengawasan ini dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misal dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan, rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. Sedang Pengawasan Represif dapat berbentuk penangguhan berlaku atau pembatalan. Suatu Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang sudah berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat dapat ditangguhkan atau dibatalkan karena bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dan pengawasan ini dilakukan melalui post audit dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat, meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya.
c.    Pengawasan Intern dan Pengawasan Ekstern
Pengawasan Intern, adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Akan tetapi di dalam praktek hal ini tidak selalu mungkin. Oleh karena itu setiap pimpinan dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu pucuk pimpinan untuk mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Sedangkan Pengawasan Ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri. Seperti pengawasan dibidang keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang meliputi seluruh Aparatur Negara dan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara terhadap Departemen dan Instansi pemarintah lain.

Macam-macam pengawasan ini didasarkan pada pengklasifikasian pengawasan. Disamping itu pula ada beberapa macam pengawasan dilihat dari bidang pengawasannya, yakni:
a.    Pengawasan anggaran pendapatan (budgetary control)
b.   Pengawasan biaya (cost control)
c.    Pengawasan barang inventaris (inventory control)
d.   Pengawasan produksi (production control)
e.    Pengawasan jumlah hasil kerja ( quality control)

Proses Pengawasan
Proses pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan kegiatan organisasi, oleh karena itu setiap pimpinan harus dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen.
Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi terhadap  setiap pegawai yang berada dalam organisasi adalah wujud dari pelaksanaan fungsi administrasi dari pimpinan organisasi terhadap para bawahan, serta mewujudkan peningkatan efektifitas, efisiensi, rasionalitas, dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas organisasi.
Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi akan memberikan implikasi terhadap pelaksanaan rencana akan baik jika pengawasan dilakukan secara baik, dan tujuan baru dapat diketahui tercapai dengan baik atau tidak setelah proses pengawasan dilakukan. Dengan demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu rencana.

Tinjauan Umum APBD
APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tentang APBD.
Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.Atas dasar acuan tersebut, penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran sebagai berikut:
a.   Transparansi dan akuntabilitas
APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Selain itu penggunaannya juga harus dapat dipertanggungjawabkan.
b.   Disiplin anggaran
Anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
c.    Keadilan anggaran
Pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
d.   Efisiensi dan efektivitas anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat.
e.    Format anggaran
Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran deficit (deficit budget format). Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedang bila terjadi defisit, dapat ditutup melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Mekanisme penyusunan APBD dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penetapan, perubahan dan perhitungan APBD.
a.      Penetapan APBD
Penetapan APBD adalah penetapan rencana APBD yang telah disusun oleh pemerintah daerah dan diajukan kepada DPRD untuk ditetapkan sebagai Perda. APBD ditetapkan paling lambat tiga bulan setelah ditetapkannya APBN. APBD tersebut perlu mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang yaitu dari Mendagri.
b.      Perubahan APBD
Berdasarkan PP No. 5 Tahun 1975 Pasal 14 jo. Pasal 183 UU No. 32 Tahun 2004, daerah dapat melakukan perubahan rencana APBD yang disebabkan antara lain: perbedaan antara perencanaan dan realisasi/pelaksanaan akibat perubahan harga, pengurangan dan penambahan volume pekerjaan, dan berbagai sebab lainnya yang menyebabkan pergeseran anggaran.
c.       Perhitungan APBD
Berdasarkan Permendagri No. 2 Tahun 1994, perhitungan APBD ditetapkan paling lambat enam bulan setelah ditetapkannya APBN untuk tahun anggaran berikutnya. Perhitungan ini merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD pada setiap tahun anggaran. Perhitungan APBD harus menghitung selisih antara realisasi penerimaan dan realisasi pengeluaran dengan anggaran pengeluaran dengan menjelaskan alasannya. Perhitungan APBD juga ditetapkan melalui Perda.

 Pendapatan Daerah

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 157, bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a.   Hasil pajak daerah (PAD) yang meliputi:
Ø  Hasil pajak daerah
Ø  Hasil retribusi daerah
Ø  Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
Ø  Lain-lain PAD yang sah.
b.   Dana perimbangan yang terdiri dari:
Ø  Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHATB) dan Penerimaan dari sumber daya alam (SDA)
Ø  Dana Alokasi Umum (DAU)
Ø  Dana Alokasi Khusus (DAS)
c.    Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan secara terperinci berdasarkan pada jenis pendapatan, terdiri atas:
1.   Sisa lebih perhitungan tahun lalu.
Berbagai hal penyebab terdapatnya sisa anggaran antara lain:
Ø  Adanya penerimaan yang tidak diperkirakan pada saat penyusunan APBD
Ø  Adanya sisa pada pagu anggaran yang disediakan dalam APBD dengan harga hasil tender oleh pihak ketiga.
Ø  Adanya sisa anggaran meski target pelaksanaan fisik suatu proyek telah mencapai 100%.
Ø  Adanya anggaran tahun lalu yang belum terserap karena pelaksanaan kegiatan fisiknya belum selesai.
2.   Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD seringkali dianggap sebagai tumpuan utama sumber keuangan daerah. Jenis-jenis PAD antara lain:
Ø  Pajak daerah, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan yang seimbang, yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Ø  Retribusi daerah, yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
Ø  Laba perusahaan.
Ø  Penerimaan dinas dan penerimaan lain-lain.
3.   Bagi hasil pajak dan bukan pajak
Bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah bagian pajak dan bukan pajak  pusat yang dibagihasilkan kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
4.   Sumbangan dan bantuan
Sumbangan adalah dana yang diberikan pemerintah kepada pemerintah daerah yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah dan pegawai pusat yang diperbantukan di daerah, serta keperluan belanja nonpegawai.
Bantuan adalah dana yang diberikan pemerintah kepada daerah yang digunakan untuk pembangunan daerah yang bersangkutan.
5.   Pinjaman
Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pinjaman daerah dapat bersumber dari:
Ø  Dalam Negeri
Ø  Luar Negeri
Pinjaman Daerah terdiri dari dua jenis:
1)   Pinjaman Jangka Panjang
Pinjaman daerah dengan jangka waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga dan biaya lain sebagian atau seluruhnya harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
2)   Pinjaman Jangka Pendek
Pinjaman daerah dengan jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran bersangkutan.


PENGAWASAN PELAKSANAAN APBD

APBD adalah rencana keuangan Pemda, yang mencakup tiga komponen, yakni pendapatan, belanja dan pembiayaan. Selisih pendapatan dengan belanja disebut surplus atau defisit, yang memiliki makna bahwa Pemda boleh merencanakan pengeluaran untuk belanja yang tidak sama persis dengan jumlah pendapatannya.
Di sisi lain, rencana keuangan yang telah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan, kemungkinan besar tidak dilaksanakan sepenuhnya. Artinya, hampir selalu ada variansi (variance) antara anggaran dengan realisasinya.  Dalam anggaran berbasis kinerja, APBD harus direncanakan dengan menetapkan terlebih dahulu target kinerja yang ingin dicapai (Money follows functions). Jika tidak ada target, maka tidak ada aktivitas. Jika tidak ada aktivitas, maka tidak ada alokasi dana dalam APBD.
Pemeriksaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan setelah berlakunya paket tiga Undang-undang Keuangan Negara. Perubahan tersebut antara lain meliputi jenis pemeriksaan, standar pemeriksaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, serta pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan. Perubahan tersebut tentunya harus disikapi dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yang semakin baik dan ‘semakin’ sesuai standar. 
Tercatat sudah banyak perangkat lunak diciptakan mulai kode etik, petunjuk pelaksanaan sampai petunjuk teknis dan SOP. Akan tetapi, apakah kualitas hasil pemeriksaan dapat terjamin dengan banyaknya perangkat lunak pemeriksaan? Banyak laporan yang menyatakan bahwa auditor sering mengandalkan intuisinya sebagai pemeriksa dibandingkan harus mengandalkan atau mematuhi perangkat lunak pemeriksaan. Auditor cenderung terlalu percaya diri dan kadang lupa dengan pakem yang harus dipegang dalam memainkan perannya sebagai auditor.
Akibatnya, ini mendorong munculnya auditor yang doyan bermusik jazz. Yaitu mengaudit dengan improvisasi sekenanya mengikuti intuisi yang dipercaya. Padahal, ada kekhawatiran bahwa dengan improvisasi ini, bisa menyulitkan penjaminan keandalan prosedur audit yang dijalankan.
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Hasil penelitian tentang kompetensi menunjukkan bahwa profesi auditor mulai tidak menarik dan tergeser oleh profesi yang lain. Hal ini berdampak terhadap kualitas calon auditor yang memasuki dunia Pegawai negeri Sipil (PNS), yang pada akhirnya akan membuat mereka akan eksodus ke unit kerja lain. Hasil penelitian juga menunjukkan kualitas pendidikan secara formal untuk auditor dirasa masih kurang memadai untuk menunjang kompetensinya. Penelitian juga memberikan bukti empiris bahwa pengalaman akan mempengaruhi kemampuan auditor untuk mengetahui kekeliruan dan pelatihan yang dilakukan akan meningkatkan keahlian dalam melakukan audit.
Untuk itu maka masukan dari pihak lain atau pembina  dan organisasi sangat diperlukan untuk mengembangkan suatu kualitas audit. Hasil penelitian tentang independensi menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan auditor dipengaruhi oleh dorongan untuk mempertahankan citranya auditnya. Tetapi disisi lain terdapat beberapa kekuatan yang bisa meredakan pengaruh tersebut. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa pengaruh Budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi auditor akan mempengaruhi sikap independensinya (Soegijanto dan Hoesada, 2005).
PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian internal Pasal 47 menyebutkan bahwa pimpinan instansi/lembaga pemerintah bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian internal di lingkungan masing-masing. Atas dasar itu di masing-masing lembaga mempunyai satuan kerja yang bertugas untuk mengawasi dan menjamin pelaksanaan operasional instansi agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di tingkat pusat lembaga tersebut lazim disebut Inspektorat dan ditingkat daerah disebut Badan Pengawas (Bawas) yang sekarang Inspektorat juga.
Fungsi pengawas internal adalah membantu pimpinan instansi/lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan dibidang :
1.   Pengawasan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan baik yang sudah selesai maupun on going;
2.   Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas, fungsi evaluasi tersebut termasuk dalam pengujian secara berkala laporan yang dihasilkan oleh masing-masing perangkat daerah;
3.   Pembinaan dan perbaikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan reguler yang dilaksanakan;
4.   Membantu tercapainya good corporate governance.
Menurut penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan perubahannya tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Kepala Daerah (Bupati/Walikota) selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan juga bertindak sebagai pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah. Selanjutnya kekuasaan tersebut dilimpahkan kepada Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola keuangan daerah dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah itu sendiri sebagai pengguna anggaran/barang daerah di bawah koordinasi dari Sekretaris Daerah.
Pemisahan pelaksanaan APBD ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggungjawab terlaksananya mekanisme keseimbangan dan pengawasan dalam pelaksanaan anggaran daerah (check and balances) serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka dana yang tersedia dalam APBD harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi kepentingan masyarakat.


Beberapa Masalah dalam Proses Pengawasan.
Beberapa permasalahan yang ditemui ketika aparat inspektorat telah melakukan pemeriksaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD, antara lain:
Pertama,
Struktur belanja pada APBD yang lebih banyak mengakomodir belanja pegawai, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi kesalahan penganggaran. Kalau setiap tahun belanja publik selalu kurang daripada belanja pegawai, pertanyaannya, pegawai yang semakin banyak itu kerja apa saja?
Kalau jumlah pegawai lebih banyak dari apa yang mau dia kerjakan? Itu aneh. Sehingga pengadaan CPNSD harus dikurangi. Jangan setiap tahun terima CPNSD baru, karena akan sangat membebani anggaran. Setiap periode jabatan KDH sebenarnya cukup dua kali saja pengangkatan CPNSD supaya ada penghematan sehingga biaya belanja aparatur dipakai untuk belanja publik. Jumlah rakyat miskin masih sangat banyak, dana yang ada sebaiknya dipakai untuk kembangkan sektor riil dan jangan hanya dihabiskan untuk belanja pegawai saja.
Kedua,
Penafsiran yang berbeda antar SKPD terhadap peraturan pemerintah pusat yang selalu berubah-ubah, sehingga menimbulkan berbagai macam interpretasi atas aturan yang ada. Mau ikut aturan A takut kebentur aturan B. Kuatirnya auditor akan memakai aturan B dan akhirnya menyalahkan SKPD. Kuatirnya ada pihak lain yang kemudian berpendapat bahwa harusnya atas kejadian tersebut adalah mengacu pada aturan C (sehingga membingungkan).
Salah satu contoh kongkritnya adalah pada saat akan menerapkan keppres 80/2003 dan perubahannya dengan Permendagri 13/2006 dan perubahannya. Pegawai yang berkutat di masalah keuangan daerah mengharuskan dipakai Permendagri, sedangkan yang biasa menangani pengadaan akan bersikukuh bahwa hanya Keppres-lah satu–satunya acuan utama mulai persiapan pengadaan, proses pemilihan penyedia, proses pelaksanaan dan prosedur pembayaran beserta dokumen–dokumennya.
Ketiga,
penyalahgunaan aset, yang terjadi karena ketidaktertiban mulai dari proses pencatatan, pembiayaan, dan pelaporan sehingga tidak dapat diketahui track record aset tersebut. Kelemahan yang sering terjadi adalah aset tidak dicatat di buku inventaris atau tercatat di buku inventaris tetapi tidak pernah di-update mengenai keberadaan, kondisi, dan lokasi aset tersebut.
Selain itu, secara akuntansi belum dilakukan pencatatan aset sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), di antaranya saat pembelian tidak dibukukan dalam buku besar dan buku pembantu serta tidak dilakukan penyusutan. Kadangkala aset yang tercatat tidak diketahui sumber dananya, baik yang didanai dari APBN/APBD, hibah, sumbangan, maupun sitaan, dan sebagainya. Tidak tercatatnya aset, baik dalam buku inventaris maupun secara akuntansi serta tidak jelas dalam segi pembiayaannya, mengakibatkan pelaporan aset dalam neraca tidak akurat.
Hal ini kadang menjadi permasalahan di SKPD, untuk perhitungan harga perolehan biasanya dihitung di bagian keuangan atau akuntansi. Tentunya setelah dihitung harga perolehan, maka pengurus barang segera mengganti harga aset tersebut dari harga yang sesuai kontrak ke harga perolehan. Beberapa SKPD kadang tidak ada komunikasi antara Bagian Keuangan/Akuntansi dengan Pengurus Barang. Tentu saja ketika auditor masuk akan membandingkan data neraca dengan rincian barang.
Keempat,
Setiap pemeliharaan terkait dengan anggaran untuk pemeliharaan. Belanja pemeliharaan ternyata salah satu objek belanja yang paling sering difiktifkan pertanggungjawabannya. Jika dicermati dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA), atau dalam Perhitungan APBD, biasanya anggaran belanja pemeliharaan terealisasi 100%. Habis tak bersisa. Yang menarik, berdasarkan penelitian di negara-negara berkembang, terutama di Afrika dan Amerika Latin (IMF, 2007 dan World Bank, 2008; dikutip Peduli Bangsa, 2008) fenomena ghost expenditures merupakan hal yang biasa. Artinya, alokasi untuk pemeliharaan selalu dianggarkan secara incremental meskipun banyak aset yang sudah tidak berfungsi atau hilang. hal ini terjadi karena tidak adanya transparansi dalam penghapusan dan pemindahtanganan aset-aset.
Kelima,
Pemeriksaan aset hasil pengadaan terpusat pada satu instansi.
Keenam,
Pengadaan yang tidak dilaksanakan oleh bagian atau sub bagian yang berwenang melaksanakan sesuai tupoksinya.  Berdasarkan fenomena yang terjadi uang untuk pelaksanaan kegiatan dikuasai pada PPTK. Seharusnya uang untuk pelaksanaan kegiatan dipegang oleh bendahara pengeluaran meskipun yang bertanggungjawab untuk pengendalian atas pelaksanaan pekerjaan ada di tangan PPTK. Hal ini bermakna bahwa meskipun PPTK bertanggungjawab atas kesuksesan pelaksanaan kegiatan, PPTK tidak memegang uang (karena ada pada wewenang di bendahara).
Ketujuh,
Ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pelaksana perjalanan dinas.
Kedelapan,
Pembelian ATK di luar “batas kewajaran” oleh SKPD.
Kesembilan,
Tidak melaksanakan proses akuntansi, tetapi menghasilkan laporan keuangan. Sudah menjadi kelaziman saat ini bahwa SKPD dipandang tidak perlu menyelenggarakan proses akuntansi (menjurnal, memposting, menyesuaikan, menutup, dan menyusun laporan keuangan) secara manual, karena telah ada software atau program yang membantu. Sekali dilakukan entry data, maka laporan keuangan langsung jadi. Apakah akuntansi sama dengan software di komputer?.
Kesepuluh,
Kelemahan sistem penetapan honor berdasarkan kegiatan, karena tidak ditetapkan pemberian penghasilan tambahan berdasarkan beban kerja secara adil.
Kesebelas,
Jumlah persediaan yang tidak realistis pada akhir tahun anggaran, dan sebagainya.Hal-hal tersebut di atas merupakan aspek-aspek yang harus diawasi, artinya pengawasan tidak hanya bernuansa dilaksanakan setelah pelaksanaan kegiatan, tetapi juga dimulai ketika perencanaan kegiatan masih dilakukan.

Pengawasan terhadap pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD dibagi menjadi dua bagian; pengawasan eksternal dan pengawasan internal yang dijalankan diklasifikasikan dari segi kategori fungsional yang tergantung pada maksud yang akan dijalankan. Jadi pengawasan tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1.   pengawasan kebijakan (perumusan kebijakan makroekonomi dan strategi);
2.   pengawasan proses (pengawasan personil, procurement/pengadaan, konstruksi dan pembayaran) dan
3.   pengawasan efisien (ukuran kinerja dan evaluasi).
Apakah pengawasan, suatu kalimat yang agak “merepotkan” bagi teman-teman Pemda?, bukan saja karena implikasi dari pengawasan itu sendiri, tetapi juga dari banyaknya pengawasan. Tetapi sebenarnya dilingkup intern SKPD itu sendiri telah terlaksana pengawasan, yang dilaksanakan oleh pegawainya.  Pengawasan yang dimaksud tersebut dengan nomenklatur pengawasan atau dengan yang serupa pengawasan, yaitu : Waskat, evaluasi,  monitoring, atupun konsultasi. Perbedaan antara auditor dan pegawai lain di SKPD adalah, auditor mempunyai wewenang tidak hanya melakukan pengawasan tetapi juga ke tingkat pemeriksaan sesuai tugas pokoknya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Kriteria pemeriksaan mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan pekerjaan lain. Pemilihan kriteria pemeriksaan tidak hanya meng”copy” peraturan atau norma serta kaidah yang telah ditetapkan dalam bentuk produk hukum, melainkan lebih jauh lagi kriteria pemeriksaan dapat dikembangkan standar atau praktik-praktik yang dianggap baik dan relevan bagi sebuah kondisi kinerja yang ideal. Oleh karena itu, pengembangan kriteria menjadi proses penting dalam suatu perencanaan pemeriksaan untuk menjamin penilaian auditor lebih objektif, proposional dan relevan dengan tujuan pemeriksaan, sehingga dapat menghasilkan suatu rekomendasi perbaikan yang konstruktif bagi kinerja audite.
Problemnya adalah kebosanan dari instansi/lembaga untuk diperiksa, banyaknya kegiatan pemeriksaan sedikit banyak membuat aktivitas pelayanan dan operasional menjadi terganggu. Banyak waktu yang tersita untuk menjawab dan menjelaskan berbagai permasalahan yang terjadi. Fungsi pengawas menjadi pemeriksa membuat pemahaman terhadap masalah yang terjadi menjadi kurang, parsial sehingga tidak menyeluruh. Pengawasan dilakukan tujuannya bukan evaluasi untuk perbaikan proses yang sedang berlangsung tapi lebih kepada evaluasi untuk mencari kesalahan atas kegiatan.
Faktanya, justru bottle neck yang terjadi dalam melaksanakan pemeriksaan adalah ketidakmampuan mengidentifikasikan kriteria pemeriksaan. Ketidakmampuan lebih disebabkan hal-hal antara lain tidak tersedianya Key Performance Indicator (KPI), belum ada kesepakatan dengan auditee, dan tidak tersedia data standar berupa benchmarking. Ini semua terjadi karena kita sudah terbiasa dengan pola pemeriksaan kepatuhan yang mengharuskan sumber kriteria adalah berupa peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan memaksa pelaksana untuk mematuhinya. Tanpa itu maka temuan pemeriksaan dan rekomendasinya tidak ada kekuatan mengubah auditee untuk memperbaiki. Apalagi kondisi tersebut dikaitkan dengan ada tidaknya indikasi TPK.